“Tetapi sedjarah memberi peladjaran djuga pada manusia. Suatu barang jang bernilai seperti demokrasi baru dihargai, apabila hilang sementara waktu. Asal bangsa kita mau beladjar dari kesalahannja dan berpegang kembali kepada ideologi negara dengan djiwa murni, demokrasi yang tertidur sementara akan bangun kembali.” (Demokrasi Kita, Bung Hatta, 1960)
Apa yang terjadi saat disahkannya RUU Pilkada menjadi UU
Pilkada merupakan bukti kemunduran demokrasi di Republik ini. Demokrasi seyogyanya
merupakan sebuah wujud implementasi atas nafas kedaulatan rakyat. Demokrasi
yang dibangga-banggakan berubah menjadi otoriter dengan membuat semua rakyat di
daerah harus tunduk tanpa diberikan hak untuk memilih.
Otonomi daerah memberikan keleluasaan bagi tiap-tiap daerah
untuk mengelola daerahnya masing-masing. Otonomi daerah muncul dari pergulatan
demokrasi yang berpikir bahwa kedaulatan rakyat harus muncul hingga ke
sendi-sendi terendah dalam pemerintahan, yaitu pemerintah daerah. Keleluasaan ini
menyebabkan rakyat berhak memilih sendiri legislatif dan eksekutifnya melalui
pemilu. Seiring dengan disahkan UU Pilkada, kewenangan rakyat mulai dibatasi. Sebelumnya
kita menjalankan demokrasi secara paripurna, dengan mengutamakan suara rakyat
untuk memilih pemimpinnya, baik pemimpin di pusat (presiden) maupun pemimpin di
daerah (kepala daerah), hingga memilih dewan perwakilan yang berfungsi sebagai
wakil rakyat di tingkat legislatif. Namun, seiring disahkannya RUU Pilkada
menjadi UU Pilkada, demokrasi yang paripurna tadi mulai dilucuti sehingga
rakyat kehilangan suaranya untuk memilih langsung pemimpin daerahnya
masing-masing.
Berbagai pihak mengecam UU Pilkada ini sebagai suatu
kemunduran, sebuah tindakan yang mengorbankan hak dan kedaulatan rakyat. Padahal
selama ini pilkada langsung juga memiliki fungsi pengawasan agar tercipta
sinergi yang sehat antara pemimpin daerah dengan DPRD, agar setiap
kebijakan-kebijakan yang akan diluncurkan memiliki filter. Namun perlu dipikirkan
juga apakah Pilkada Lansung memang pantas diterapkan di semua daerah tanpa terkecuali.
Imbas dari Pilkada Langsung adalah DPRD menjadi lembaga
superpower di lingkup pemerintah daerah. Potensi money politics semakin tinggi, calon
pemimpin daerah tentu merasa lebih murah membayar seluruh wakil rakyat di DPRD daripada
membayar seluruh warga yang ada di daerah tersebut. Jika itu terjadi maka potensi
penyalahgunaan wewenang saat menjabat pun tinggi karena pejabat yang dipilih
memiliki integritas yang rendah. Kemungkinan terburuk yang bisa terjadi adalah DPRD
menjadi pucuk pimpinan yang membuat pemimpin daerah menjadi sekedar simbol
sekaligus boneka yang dapat diatur sesuka hati.
Lantas apakah setiap perwakilan rakyat yang duduk di DPRD masing
masing daerah secara otomatis menyetujui sistem Pilkada Tak Langsung? Apakah
setiap anggota DPRD di Republik ini berpikiran sama bahwa pilkada tak langsung
adalah opsi terbaik untuk diterapkan di daerahnya masing-masing? Perlu diingat
bahwa Indonesia terdiri dari berbagai suku dan adat istiadat yang berbeda,
sehingga setiap daerah memiliki kekhasannya masing-masing.
Solusi terbaik menurut saya adalah mengembalikan Keputusan pilkada langsung
atau tidak langsung kepada pemerintahan dan rakyat di masing-masing daerah. Biarkan
masing-masing daerah memutuskan sendiri sistem Pilkada yang digunakan seperti
apa. Tidak semua daerah cocok dengan sistem Pilkada Langsung, dan tidak semua
daerah setuju implementasi Pilkada Tak Langsung. Biarkan otonomi daerah
bergerak sesuai fungsi dan tujuan dibuatnya, sehingga UU Pilkada berubah
menjadi Perda Pilkada.