Berita minggu ini didominasi oleh berita kecelakaan. Kecelakaan dasyat yang menewaskan kurang lebih 9 orang menjadi pembuka tahun yang kurang menggembirakan. Sang pengemudi menjadi target sasaran, dihina dan dicaci maki. Di twitter dia dicerca habis-habisan.
Oke, cukuplah membahas berita itu. Saya tak ingin pusing menjabarkan kronologis kisah kecelakaan itu, sudah banyak pihak yang melakukannya. Saya ingin mengkritisi beberapa hal yang tersingkap dari peristiwa itu.
Satu, mengenai infrastruktur.
Jika dibuat sebuah polling, saya yakin banyak yang sependapat bahwa infrastruktur untuk para pejalan kaki sangat tidak memuaskan. Banyak trotoar yang penggunaannya kurang sesuai. Halte digunakan untuk jualan. Serta zebra cross yang tak lebih hanya sebagai hiasan. Mengenai trotoar, secara khusus dapat dilihat di postingan saya sebelumnya.
Dua, mengenai izin mengemudi.
Jujur saja, pasti banyak yang mendapatkan sim (surat izin mengemudi) dengan cara ilegal. Hanya segelintir yang membuat secara legal dengan mematuhi prosedur yang ada. Tapi herannya, proses pembuatan sim secara ilegal seakan mendapat legitimasi dari instansi kepolisian sebagai pihak yang mengeluarkan sim. Banyak oknum-oknum anggota kepolisian yang menjadi perantara pembuatan sim secara ilegal. Apa akibatnya? orang yang tidak kompeten dalam mengemudi pun diizinkan mengemudi.
Ketiga, sanksi hukum.
Melihat refleksi beberapa tahun belakangan, saya merasa miris melihat putusan-putusan hakim. Kasus dengan dampak besar diberi hukuman ringan karena pembuktiannya yang rumit. Sedangkan kasus yang berdampak kecil diberi hukuman setinggi-tingginya, alasannya karena pembuktiannya sempurna. Lantas saya berpikir bahwa hukum di Indonesia selalu berorintasi kepada ketertiban, bukan keharmonisan. Jika keharmonisan yang dicari, penegakan hukum selalu mempertimbangkan sisi sosiologis dari masyarakat. Melihat dampak yang terjadi, penilaian masyarakat secara umum mengenai akibat peristiwa tersebut, serta pengharapan masyarakat atas pemberian hukuman sesuai dengan nurani. Secara nurani tak layak pencurian sendal di bui lima tahun dan menabrak 9 orang hingga tewas hanya diberi hukuman 6 tahun.
Keempat, peran media.
Dulu media dikenal sebagai pemberi berita, penyedia berita, dan rujukan yang paling cepat atas peristiwa terbaru. Namun sayangnya, saat ini banyak media yang kerap ditumpangi oleh muatan-muatan politik yang berimbas pada persaingan tak sehat. Menyajikan berita secara hiperbolis dengan harapan korannya lebih laris. Memainkan emosi masyarakat, dan berharap masyarakat terprovokasi. Secara singkat disebut sebagai "Pembodohan Publik".
Sejauh ini hanya empat poin tersebut yang bisa saya olah dan sajikan. Bila ada kata-kata yang kurang sesuai, mohon dikritik agar dapat saya ralat sesegera mungkin. Terima kasih sudah mau menyediakan sedikit waktu untuk mampir.
yah begitulah bang, semakin hari semakin terpuruk aja bangsa ini... salam berkawan bang ditunggu kunjungannya. . .
ReplyDeletemenyedihkan ya :(
Deletekalau menurut saya pendidikan moral di indonesia masih sangat minim & jarang,alias hanya mendidik masalah otak saja
ReplyDeletesehingga dari mulai masyarakat sebagai pengguna jalan maupun aparat tidak memiliki sikap & perilaku yang saling menghargai satu sama lain sebagai mahluk sosial
maka tidak usah heran indonesia ini semakin hari semakin banyak masalah bahkan sampai merenggut nyawa
betul sekali bang, saya sependapat dengan anda
Delete