Pages

Wednesday, March 21, 2012

Dua Hantu Jakarta

Ini masih bulan Maret, meskipun Pilkada DKI dimulai bulan Juli, tetapi tak ada salahnya jika saya mulai membahas hal ini dari sekarang. DKI Jakarta adalah kota kelahiran saya. Di kota ini saya dilahirkan dan dibesarkan hingga menginjak bangku sekolah menengah atas (SMA). Setelah SMA saya merantau ke propinsi lain untuk menimba ilmu sebagai bekal meraih cita-cita saya. Tiada lain tiada bukan dari saya membuat tulisan ini selain karena saya peduli dan ingin agar DKI Jakarta menjadi kota yang nyaman dan layak dihuni. Ini sekedar pendapat pribadi, bukan pendapat dari ahli.


  

Menurut saya pribadi, Jakarta adalah kota yang berbeda dengan kota atau wilayah atau bahkan propinsi lain di Indonesia. Dengan titel DKI (Daerah Khusus Ibukota) menjadikan Jakarta sebagai pusat pemerintahan sekaligus tempat perputaran uang terbesar di negara ini. Jakarta seakan menawarkan segala daya tariknya bagi para pendatang untuk singgah dan mengadu nasib. Tak heran bila kota ini menjadi kota sekaligus propinsi terpadat di Indonesia. Begitu banyak orang, begitu banyak kepentingan yang harus diakomodir, sampai-sampai aparatnya terlihat mandul dan kurang mumpuni dalam mengelola Jakarta.


Sebenarnya problematika besar yang menghantui Jakarta hanya ada dua, yang pertama adalah ketidakbecusan aparat pemerintahan dalam menjalankan tugasnya dan yang kedua adalah kacaunya perencanaan tata kota. Ketidakbecusan aparat mudah saja ditemukan di berbagai sudut ibukota. Dari mulai banyaknya peredaran obat bius (narkoba dan teman-temannya), hingar bingar prostitusi (bisa baca tulisan saya mengenai bahaya prostitusi), hingga maraknya aksi premanisme (termasuk yang dilakukan oleh ormas, suporter sepakbola, mafia, dan aksi kriminalitas individu), dan hebatnya semuanya itu secara nyata dilakukan di depan hidung aparat pemerintahan/aparat penegak hukum. Lantas mengenai tata kota tak sulit mencari contoh, datangnya banjir tahunan dan kemacetan yang merajalela merupakan imbas dari parahnya perencanaan tata kota di Jakarta.


Sejak beberapa tahun belakangan, dua hantu besar inilah yang selalu dan selalu menjadi tantangan besar bagi setiap Gubernur DKI yang bertugas. Dan hampir dipastikan, bahwa Gubernur DKI yang saat ini masih menjabat (terhitung hingga bulan Maret 2012) tak sekalipun melakukan aksi nyata dalam membereskan kedua masalah yang saya bahas diatas. Maka sudah saatnya Cagub-Cagub yang bertarung dalam Pilkada DKI mulai mencanangkan program-program dalam membereskan problematika tersebut. Tak perlu rumit, cukup memiliki program yang pasti dan rasional. Tak perlu saling perang slogan, karena slogan tak terbukti bisa menyelesaikan masalah.


Sekali lagi, ini bukan bentuk chauvinisme. Ibukota adalah ujung tombak sebuah negara karena pusat pemerintahan terletak disana. Bahkan semahal-mahalnya pensil pun tak akan nyaman digunakan bila ujungnya tumpul.


***


Tak ada perjuangan yang berhasil tanpa persatuan. Mari bersatu karena perduli.


Pilih yang bersih, bertanggung jawab, dan berani.


2 comments:

  1. keren sob ..
    salam sukses selalu ..:)

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih pak sudah mampir, sukses juga buat anda :)

      Delete