Jam tanganku menunjukkan pukul 2 pagi. Mungkin terlalu dini untuk bepergian, tapi tidak untukku. Sebuah kabar burung menyatakan bahwa Puncak Suroloyo adalah salah satu tempat indah untuk melihat sunrise, salah satu objek kegemaranku. Puncak Suroloyo terletak di Pegunungan Menoreh dan juga menjadi salah satu bukit tertinggi di Menoreh. Dari tempat itu tak hanya terlihat Candi Borobudur, namun juga Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, dan Sindoro.
hayo tebak, itu gunung apa?
Dengan persiapan seadanya, aku merayu beberapa kawan untuk bergabung melihat prosesi terbitnya sang surya. Beberapa kawan mewanti-wanti karena cuaca yang kurang mendukung. Namun aku yakin semesta berpihak padaku. Dan lagi setelah ide berhasil dipaparkan, sebuah petualangan singkat kembali dilaksanakan.
Perjalanan kali ini sungguh dramatis. Sekumpulan orang yang tak tau arah mencoba mencari sebuah bukit tinggi menjulang dalam gelapnya malam. Hasilnya tentu saja sebuah kata: nyasar. Memang untuk urusan mencari arah bukanlah keahlianku. Aku hanya pintar menyusun ide keberangkatan, bukan menentukan rute mana yang harus diambil untuk menghasilkan perjalanan tercepat.
Singkat cerita kami berhasil tiba di lokasi. Tentu saja setelah beberapa kali berbalik arah, bertanya kepada orang yang lewat, hingga terpaksa melewati jalanan rusak sedikit terjal yang untungnya masih bisa dilintasi. Untuk ukuran musim hujan, cuaca kali ini bisa dibilang cerah. Aku yakin kali ini semesta mendukung.
Agar bisa mencapai puncak, kita harus menaiki undak-undakan yang memang sudah disediakan. Ini mengingatkanku perjalanan menuju kawah Bromo. Ah, sebuah fantasi liar melintas. Membuatku berandai-andai sunrise-nya pasti seindah sunrise di Bromo. Udara yang tipis pasti mulai mengacaukan pikiranku.
Di ketinggian kurang lebih 1100 meter, kami menunggu sang surya datang. Kami bertahan dari serbuan kabut, udara dingin, sambil mengistirahatkan diri dari lelahnya perjalanan. Semua menggunakan baju hangat. Dan tidak lupa membawa air minum.
Akhirnya, yang dinanti tak kunjung datang setelah cukup lama menunggu. Kabut pun terus datang tanpa henti. Menutupi kemilau sinar sang surya. Menutupi cahaya indahnya. Menghapus semburat jingga yang selalu aku nantikan. Impian melihat keindahan terbitnya mentari yang kuidamkan terhenti disini. Pupus. Keberpihakan semesta selesai disini.
Meski sedikit kecewa, pemandangan disini mengingatkanku akan petualanganku saat pertama kali mengenal gunung. Di Jawa Barat saat masih berumur awal belasan tahun, aku mendaki gunung pertamaku. Mendirikan tenda, serta menginap lima hari. Pertama kali merasakan nikmatnya ketergantungan hidup dengan alam. Menyeruput air sungai yang jernih mengalir, memakan buah-buahan liar, dan mencari kayu bakar untuk memasak.
Mungkin perjalanan kali ini adalah perjalanan terakhirku di bulan Januari bersama mereka. Tak sempurna namun berkesan. Sejelek-jeleknya perjalanan, bila dilakukan dengan kawan seperjuangan tentu hasilnya selalu manis. Ada saja cerita yang dihasilkan. Penuh riuh tawa renyah dan guyonan mengocok perut. Semua tertawa bahagia, senang dapat berpergian bersama. Apalagi perjalanan kali ini termasuk salah satu perjalanan murah meriah.
Untuk mengobati sedikit kekecewaan, pulangnya kami mampir membeli durian. Dengan beberapa lembar puluhan rupiah, kami bisa menikmati durian lokal yang rasanya tentu saja tak kalah lezat dengan durian impor.
Beberapa foto yang berhasil saya abadikan:
Beberapa foto yang berhasil saya abadikan:
kabut, kabut, dan kabut
menggapai kabut
jangan lupa ibadah
yang ditunggu malah tertutup kabut
Wah sayang ya ._. Tapi kalo aku pribadi mas gak begitu suka liat matahari terbit :p
ReplyDeleteKenapa ndak suka mbak? pasti susah buat bangun pagi yaa :p
DeleteSaya terakhir ke Suroloyo tahun 2010, waktu itu jalan aspalnya rusak. Siang hari sih, tapi berkabut.
ReplyDeleteSekarang jalanannya udah lebih mulus, kalo dari jogja mending ambil rute kalibawang aja
DeleteBorobudurnya kok gak kliatan???
ReplyDeleteKalo liat langsung sih keliatan, tp ga sempet di foto. maklum keterbatasan kamera+lg banyak kabut
Delete