Tadi pagi, saya duduk di samping jendela rumah milik keluarga besar saya. Rumah tempat berkumpul saat lebaran. Rumah yang begitu dicintai oleh semua anggota keluarga besar kami. Tempat saya dan saudara saudara menghabiskan liburan sekolah. Di tempat ini, ribuan kenangan dilahirkan. Dari yang manis hingga pahit sepahit pahitnya kenangan.
Di tepi jendela yang berhiaskan teralis dapat dinikmati pemandangan areal persawahan disertai suara kicauan burung dan angin sepoi sepoi. Suasana ala desa seperti yang banyak digambarkan di dalam buku cerita. Sebentar lagi saya akan bersiap meninggalkan tempat ini. Pergi ke kota lain mengais rejeki sambil berharap datangnya kehidupan yang lebih baik. Tentu saja tempat ini dan segala pemandangan yang menghiasinya akan selalu tertanam dalam pikiran saya.
Siang ini, stasiun kereta tampak sepi. Lebih sepi dari biasanya. Berbagai orang tampak lalu lalang membawa tas dan bungkusan plastik. Ada ibu-ibu yang berjalan sambil menggendong anaknya. Ada pula yang sibuk merayu agar anaknya berhenti menangis. Ah stasiun kereta, disinilah pertumpahan emosi kerap kali lahir. Disinilah tempat pertemuan dan perpisahan hanya dipisahkan oleh suara peluit dan pintu setiap gerbong.
Banyak emosi yang tercipta, terutama mengenai perpisahan dan kesedihan. Dan entah mengapa saya justru menikmatinya. Bepergian sendiri untuk waktu yang tak tentu memang membuat saya sedikit penasaran. Pertanyaan kapan saya akan pulang seakan merasuk dan menyatu dalam denyut nadi. Satu ketakutan yang mungkin terjadi bukan masalah pulang, namun bila saya terlanjur jatuh cinta dengan kota tujuan dan menolak untuk pulang. Bila saya betah dan merasa nyaman disana, di kota tujuan yang penuh dengan misteri.
Ah tapi rumahku bukan disana, rumahku adalah rumah dengan pemandangan sawah dari balik teralis. Rumah yang membuat saya berimajinasi bahwa tempat itu adalah istana. Dengan Eyang puteri menjadi sang ratu, dan saya beserta saudara sepupu adalah sang putera mahkota.
Kereta ini terus melaju. Meninggalkan rumahku. Mengisi kepalaku dengan berbagai kenangan akan rumah. Kali ini gerbong yang saya tempati cukup sepi. Kereta adalah alat transportasi paling romantis yang pernah saya naiki.
Sebuah buku dikeluarkan, dibuka namun tak dibaca dengan serius. Hanya alibi agar saya tak terlalu terlihat sedang melamun. Pemutar musik memainkan Bob Dylan - like a rolling stones.
how does it feel?
how does it feel?
to be on your own
with no direction home
like a complete unknown
like a rolling stone
Bukankah hidup ini adalah tentang pulang?
*ditulis kemarin, diatas kereta yang berjalan santai menuju Jawa Timur
Selamat menempuh petualangan baru mas ^^
ReplyDeletenaik kereta api, tut tut tuuut
ReplyDeleteke Bandung-Surabaya, baiklah bayar tiket keretaaa :D
Eh mampir ke blog aku yuk!
Aku lagi bagi pulsa @Rp 5.000 untuk 5 orang dengan hanya berkomentar di http://argalitha.blogspot.com/2013/02/berhemat-dengan-undangan-pernikahan.html
tapi komentarnya harus nyambung dan seru, ya :) jangan lupa tinggalkan nama akun twitternya. Paling lambat tanggal 27 Februari jam 9 malam.
aku tunggu. Terima kasih ^^