Setahun yang lalu, di sore menjelang petang saat sedang berbincang, kawanku berseru "Jangan sekalipun kau berani menulis sebelum kau berani untuk membaca!". Bergidik ngeri aku mendengarnya. Tatapannya serius, tak ada senyum. Nada suaranya tegas. Aku terdiam mencerna kata-katanya.
Dia adalah seorang kawan, namun terkadang menjadi seorang panutan. Orang yang terlalu banyak membaca. Orang yang pernah kupikir jika dia terlalu menikmati dunianya. Dunia kata-kata yang dulu kukira sebagai dunia sunyi. Dunia yang perlahan lahan menyeretku dalam labirin tanpa akhir. Mungkin juga blog ini ada karena dia.
Sudah jelas dikatakannya jika belum berani membaca maka janganlah berani untuk menulis. Jika kau nekat melanggar petuahnya, niscaya berbagai hal buruk akan menimpamu. Tidak, bukan lantas untuk melarangmu untuk memukai menulis. Jangan salah paham dulu, dia cuma ingin tulisanmu lebih berbobot. Ah, susah sekali berbicara denganmu.
Suatu sore kami bertemu kembali. Berbincang dengan ditemani dua cangkir kopi. Selalu sama, hitam dan tanpa gula. "Kopi pahit ini adalah simbol perlawanan, melawan rasa nyaman lidahmu yang selalu mencari kuliner lezat", ujarnya asal. Aku hanya tersenyum, dia tak tau bila aku sudah mendapat kunci untuk menikmati secangkir kopi pahit.
Meski jarang bertemu, setiap petuahnya selalu kurenungkan. Berbagai kalimatnya merasuk hingga terkadang aku butuh sebuah tameng agar idealismeku tetap bertahan ditempatnya. Mengubah sudut pandangku yang cenderung ortodoks. Memberi pencerahan yang tak pernah bisa kau bayangkan. Orang jenius yang tak pernah diakui dunia.
Sebab akibat adalah logikanya. Romantisme selalu menjadi sandaran hidupnya. Dia berpikir kitab suci adalah kumpulan puisi. Karena hanya seni seindah puisi yang mampu menggetarkan hati nurani seorang manusia. Dia bukan nabi, hanya orang biasa sepertimu yang terlalu banyak membaca.
"Mengapa kau tak mengikuti panggilan nuranimu? Percuma saja kau menjadi Ceng Ho berkedok backpacker yang menjengkali nusantara demi seonggok kenikmatan diujung lidah", kritikannya mulai mengulitiku. Ada rasa putus asa diujung kalimatnya. Ada duka yang melingkupi nada suaranya. Dia terdengar sangat yakin bahwa kawannya sudah ditaklukkan.
Mungkin suatu saat kita harus bertemu kembali, membuktikan bahwa segala hal yang kau anggap benar belum tentu benar. Aku hanya ingin mengukur diriku. Mencoba membalik ketidakberdayaan menjadi sebuah kemenangan. Seperti katamu dulu, "Proses kebangkitan adalah suatu proses yang sangat menyakitkan".
Menulis dan membaca itu memang berada di jalan yang sama ^^ Ketika kau membaca kau akan mulai ingin menulis, dan ketika kau menulis kau bertambah haus akan membaca >.<
ReplyDeleteKalau kita kapan akan bertemu mas? ^^
Ah setuju sekali mbak dweedy.
DeleteSuatu saat aku akan ke Makasar ;)
Way cool! Some very valid points! I appreciate you writing this post plus the rest of the
ReplyDeletesite is very good.
Feel free to surf to my blog - vaya