Pages

Saturday, September 27, 2014

Demokrasi Otoriter dan Polemik Pilkada

“Tetapi sedjarah memberi peladjaran djuga pada manusia. Suatu barang jang bernilai seperti demokrasi baru dihargai, apabila hilang sementara waktu. Asal bangsa kita mau beladjar dari kesalahannja dan berpegang kembali kepada ideologi negara dengan djiwa murni, demokrasi yang tertidur sementara akan bangun kembali.” (Demokrasi Kita, Bung Hatta, 1960)

Apa yang terjadi saat disahkannya RUU Pilkada menjadi UU Pilkada merupakan bukti kemunduran demokrasi di Republik ini. Demokrasi seyogyanya merupakan sebuah wujud implementasi atas nafas kedaulatan rakyat. Demokrasi yang dibangga-banggakan berubah menjadi otoriter dengan membuat semua rakyat di daerah harus tunduk tanpa diberikan hak untuk memilih.

Otonomi daerah memberikan keleluasaan bagi tiap-tiap daerah untuk mengelola daerahnya masing-masing. Otonomi daerah muncul dari pergulatan demokrasi yang berpikir bahwa kedaulatan rakyat harus muncul hingga ke sendi-sendi terendah dalam pemerintahan, yaitu pemerintah daerah. Keleluasaan ini menyebabkan rakyat berhak memilih sendiri legislatif dan eksekutifnya melalui pemilu. Seiring dengan disahkan UU Pilkada, kewenangan rakyat mulai dibatasi. Sebelumnya kita menjalankan demokrasi secara paripurna, dengan mengutamakan suara rakyat untuk memilih pemimpinnya, baik pemimpin di pusat (presiden) maupun pemimpin di daerah (kepala daerah), hingga memilih dewan perwakilan yang berfungsi sebagai wakil rakyat di tingkat legislatif. Namun, seiring disahkannya RUU Pilkada menjadi UU Pilkada, demokrasi yang paripurna tadi mulai dilucuti sehingga rakyat kehilangan suaranya untuk memilih langsung pemimpin daerahnya masing-masing.

Berbagai pihak mengecam UU Pilkada ini sebagai suatu kemunduran, sebuah tindakan yang mengorbankan hak dan kedaulatan rakyat. Padahal selama ini pilkada langsung juga memiliki fungsi pengawasan agar tercipta sinergi yang sehat antara pemimpin daerah dengan DPRD, agar setiap kebijakan-kebijakan yang akan diluncurkan memiliki filter. Namun perlu dipikirkan juga apakah Pilkada Lansung memang pantas diterapkan di semua daerah tanpa terkecuali.

Imbas dari Pilkada Langsung adalah DPRD menjadi lembaga superpower di lingkup pemerintah daerah.  Potensi money politics semakin tinggi, calon pemimpin daerah tentu merasa lebih murah membayar seluruh wakil rakyat di DPRD daripada membayar seluruh warga yang ada di daerah tersebut. Jika itu terjadi maka potensi penyalahgunaan wewenang saat menjabat pun tinggi karena pejabat yang dipilih memiliki integritas yang rendah. Kemungkinan terburuk yang bisa terjadi adalah DPRD menjadi pucuk pimpinan yang membuat pemimpin daerah menjadi sekedar simbol sekaligus boneka yang dapat diatur sesuka hati.

Lantas apakah setiap perwakilan rakyat yang duduk di DPRD masing masing daerah secara otomatis menyetujui sistem Pilkada Tak Langsung? Apakah setiap anggota DPRD di Republik ini berpikiran sama bahwa pilkada tak langsung adalah opsi terbaik untuk diterapkan di daerahnya masing-masing? Perlu diingat bahwa Indonesia terdiri dari berbagai suku dan adat istiadat yang berbeda, sehingga setiap daerah memiliki kekhasannya masing-masing.

Solusi terbaik menurut saya adalah mengembalikan Keputusan pilkada langsung atau tidak langsung kepada pemerintahan dan rakyat di masing-masing daerah. Biarkan masing-masing daerah memutuskan sendiri sistem Pilkada yang digunakan seperti apa. Tidak semua daerah cocok dengan sistem Pilkada Langsung, dan tidak semua daerah setuju implementasi Pilkada Tak Langsung. Biarkan otonomi daerah bergerak sesuai fungsi dan tujuan dibuatnya, sehingga UU Pilkada berubah menjadi Perda Pilkada.


No comments:

Post a Comment