Pages

Tuesday, October 16, 2012

Jangan Asal Kritik


Dua sendok makan berisi bubuk hitam masuk ke dalam sebuah gelas. Menyusul setelahnya air panas mengisi sekitar seperlima dari isi gelas, untuk sekedar membasahi si bubuk hitam sekitar 30 detik sebelum air dituang seluruhnya. Setelah gelas penuh, tunggu sekitar 3 menit sebelum diaduk. Begitulah salah satu cara saya dalam menyeduh kopi. Memang sengaja tak ditambahkan gula, takaran bubuknya pun tekesan seenaknya. Masalah selera memang bebas menabrak tradisi, you coffee your way.

Sebuah minuman hitam penuh gairah, mempesona

Segelas kopi dihidang, siap untuk dinikmati. Setelah mengambil posisi nyaman, tegukan pertama meluncur dengan suksesnya. Saat sedang menenggak minuman hitam ini, pikiran merasa merdeka. Ide-ide liar muncul layaknya mendapat stimulasi. Banyak hal yang ingin diceritakan disini, tapi tak semua layak untuk dibagi. Salah satu ide liar yang muncul saya tulis di bawah ini sebagai bahan renungan.

Terkadang saya selalu menahan diri untuk mengurangi kritik atau komentar saya terhadap sesuatu. Bukan perkara mudah bagi orang sok tau seperti saya untuk melakukan hal tersebut. Latar belakang pendidikan mendorong saya menjadi orang kritis, lingkungan mendidik untuk memberanikan diri mengungkapkan kritik secara terbuka. Namun berkali-kali saya terpaksa menahan diri untuk tidak sembarangan mengeluarkan kritik.

Bersyukurnya saya tinggal di negara demokrasi yang menjamin kemerdekaan warganya untuk berpendapat. Sehingga semua warga mendapat kemerdekaan untuk berpendapat, termasuk warga sok tau seperti saya. Celakanya, tak semua orang memiliki kapasitas untuk mengkritik dan mengomentari sesuatu. Semua merasa bebas melontarkan kritik, bahkan cenderung tajam dan menyakitkan.

Era kemudahan komunikasi membuat semua hal sulit menjadi mudah, bahkan saking mudahnya terkadang hal-hal demikian disalahgunakan. Sekedar menyegarkan memori, beberapa waktu yang lalu di dunia digital muncul sebuah fenomena. Sebuah akun twitter bernama @triomacan2000. Akun anonim itu memiliki kegemaran untuk melontarkan pendapat secara tajam, dan (maaf) sedikit kurang bisa dipertanggungjawabkan. Layaknya orang sok tau seperti saya, akun itu menyerang orang-orang yang merasa berdosa dengan membeberkan keburukannya.

Tetapi bukan akun anonim tersebut yang menjadi poin dalam tulisan ini. Saya hanya ingin sedikit membagi renungan saya bahwa pendapat yang berasal dari orang yang kurang berkapasitas dalam bidang yang dikritiknya harus dibatasi. Sejak merenungkan hal tersebut, saya mulai berhati-hati dalam memberikan sebuah referensi. Sebisa mungkin hal-hal negatif yang butuh keilmuan tertentu untuk memahaminya tak saya sebutkan, meski saya berhak untuk merdeka dalam berkomentar.

Bayangkan bila ada kurang lebih 25 orang tak berkapasitas berkomentar atau mengkritik mengenai kurang enaknya suatu makanan di sebuah restoran atau tidak enaknya sebuah kopi yang dijual di salah satu kedai kopi. Tentu saja reputasi warung makan dan kedai kopi tersebut akan jatuh terpuruk. Padahal yang mengkritik adalah orang sok tau seperti saya yang tak memiliki cukup pengetahuan yang layak untuk menjadi juri penilai masakan orang lain. Hanya karena perbedaan selera dengan si pembuat masakan, lantas masakan tersebut dibilang kurang enak. Logika sederhana yang imbasnya sangat luar biasa.

Meski kebaikan pihak-pihak yang dikritik disebut, namun kita juga paham  bahwa masyarakat kita menganut pola pikir: seribu kebaikan pasti dilupakan sedangkan satu kesalahan akan lebih diingat. Dan celakanya, efek mufakat sangat terasa dalam pergaulan kita. Bila jumlah suara yang berpendapat makanan tersebut tidak enak lebih banyak daripada suara yang berpendapat makanan tersebut enak, maka kita sudah mendapat jawaban apakah makanan tersebut enak atau tidak. Padahal kita tak melihat siapa saja yang berkomentar, seberapa besar pengetahuan masing-masing pemberi komentar terhadap bidang yang dikomentar, hingga alasan dari komentarnya. Suara terbanyak selalu dianggap menang. Cara yang cukup efektif bila diaplikasikan untuk membunuh karakter seseorang.

Butuh kapasitas untuk memberi kritik. Lagi-lagi saya  terpaksa mengutip sebuah kalimat terkenal dari Bob Dylan.
"Don't critize what you can't understand."
Apakah kalian sependapat, atau malah punya pendapat lain?
________________
foto diambil disini

6 comments:

  1. *Toss* Sesama orang sok tau :p Ia nih, sekarang aku juga mulai lebih sering “menahan diri” mengkritik sesuatu, mulai melihatnya dari segala sisi dulu baru berkomentar :)
    Tapi demi apa itu kopi pahit mas gak pake gula ._. gak kebayang pahitnya dilidahku :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya betul, melihat dari segala sisi sebelum berkomentar juga salah satu poin penting.

      Aku kalo minum kopi ndak suka pake gula. Ndak pahit kok :D

      Delete
  2. Setuju nih, lebih baik diam dari pada cuma menimbulkan kecewa pada yang di kritik. Tapi lewat kritikan kita juga bisa maju lho, walaupun kita gak tau yang kritik asal atau paham sama sekali, tapi ambil sisi positifnya aja sih. Kritikan berkualitas ketauan kok dari gaya bahasanya. Maap, saya lagi sok tau nih :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, betul sekali. Memang selalu ada sisi positif dari setiap hal, termasuk dari kritik yang kurang baik. :D

      Delete
  3. Kritik membangun itu susah.
    Banyak yg blg "Mengkritik lbh mudah di dunia maya krn wujud kita ga kliatan" Jd bs seenaknya cuap2. kalau anak2 DeviantArt bilangnya Trollama. lol

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya setuju, kritik di dunia maya ibaratnya lempar batu sembunyi tangan. Banyak yang beraninya kritik pake id palsu terus ditinggal kabur. hehe

      Delete