Pages

Tuesday, May 10, 2011

Polisi tak berani (menangkap pelaku) korupsi

                Belum lama ini aksi bom kembali marak di negeri fantasi ini. Setelah bom bunuh diri yang sempat menggegerkan, kemudian mucul lagi motif baru berupa bom buku. Bom yang diselipkan kedalam buku atau paket tertentu yang dikirimkan kepada calon korban dan meledak saat korban membuka buku tersebut. Semakin lama para teroris semakin canggih dan kreatif.

                Peristiwa bom yang marak terjadi membuat Presiden melakukan rapat mendadak dan menetapkan siaga satu di negeri ini. Polri dipaksa bekerja keras mengungkapkan pelaku, dan mencari bom yang telah dipasang diberbagai tempat. Setelah melalui proses panjang dan berliku, beberapa bom telah ditemukan di tempat-tempat strategis. Sebuah rangkaian bom di bilangan Serpong, Tangerang berhasil dijinakkan oleh tim densus 88. Kemudian menyusul ditemukannya delapan bom di gorong-gorong dekat pipa gas yang hanya berjarak kurang lebih 100 meter dari Gereja Christ Chatedral, rencananya paket bom tersebut akan diledakkan pada saat perayaan paskah 22 April kemarin.

                Keberhasilan tersebut membuat polri dibanjiri oleh pujian. Masyarakat merasa polisi telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Namun, ada satu hal yang patut untuk dikritisi. Polri memang telah mengungkap sebuah hal yang sekiranya memerlukan penyelidikan akurat dan cepat. Akan tetapi dalam mengungkap sebuah kasus korupsi, yang nyatanya dilakukan di depan hidung polri, mereka kelabakan. Kasus korupsi yang dihadapi bangsa ini memang dilakukan
secara terang-terangan, mark up dimana-mana, penyuapan merupakan hal yang lumrah, sogok-menyogok seakan menjadi keharusan. Tetapi dimana polri? Kenapa begitu sukar mengungkap kasus korupsi? Padahal jika dibandingkan, tentulah lebih sulit menangkap teroris yang tinggal ditempat antah berantah dibanding koruptor yang hidup berbaur dengan mereka.  Sudah menjadi rahasia umum jika gedung hijau di senayan itu merupakan sarang koruptor.

                Teror koruptor tak boleh dipandang sebelah mata. Aksi mereka dalam menggerogoti uang negara lebih berbahaya dibanding teroris yang melakukan aksi pemboman. Memang semua lebih takut dengan teroris karena efeknya lebih cepat dirasakan. Tapi jika kita sadar, efek korupsi jauh lebih permanen dibanding efek yang diakibatkan teroris. Teroris membom, gedung rusak dan nyawa melayang. Koruptor membobol uang dan “membunuh” rakyat secara pelan-pelan. Rakyat kelaparan, hidup menderita, sehingga tidak sedikit yang bunuh diri karena  stres setiap hari bingung mau makan apa.

                Teror koruptor tak berhenti sampai disitu. Efek korupsi menimbulkan efek berantai. Masyarakat lapar, menderita, maka mencuri untuk memenuhi kebutuhannya, kriminalitas meningkat. Kesenjangan sosial semakin nyata. Degradasi moral. Propaganda media bertindak seperti bensin yang disiram ke atas api. Semua itu bisa terjadi karena rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat. Rakyat tambah menderita, maka pemerintah tambah sejahtera. Seandainya uang yang dikorupsi digunakan sesuai dengan anggaran yang ada, tentu masyarakat akan lebih sejahtera. Seandainya polri berani menangkap pelaku korupsi seperti keberanian mereka menangkap teroris tentu jalan ceritanya akan berubah.
                

2 comments:

  1. karena menurut gw, masih menurut gw loh jadi jangan ada yang tersinggung ya...karena polisi merupakan bagian dari korupsi itu sendiri,kita sebut saja oknum lah!!! udah susah memberantas korupsi untuk saat ini,karena ini seperti lingkaran setan...harus nunggu 1 generasi baru muncul,yang menghendaki perubahan

    ReplyDelete
  2. @gulali jawa: saya sepakat, bung

    ReplyDelete