Semua ramai berbicara sengketa kewenangan penanganan proses
penyidikan antara KPK vs Polri. Sebagai seorang awam yang sok tau dan sok
pintar, tentu saja saya tergoda untuk sedikit mengomentari masalah ini. Tentunya
level pendapat saya ini sesuai dengan kadar keilmuan saya yang sangat rendah. Bila
ada yang merasa pendapat saya ngawur dan tak sesuai dengan fakta yang ada,
mohon segera dikritik agar bisa segera diluruskan.
Pertama saya mengajak anda sekalian mengingat kembali alasan
dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disingkat KPK). Latar belakang
dibentuknya KPK karena pemerintah (khususnya pembentuk UU 30/2002) merasa bahwa
lembaga pemerintah yang menangani tindak pidana korupsi belum berfungsi secara
efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Penegakan hukum
yang dilakukan untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara
konvesional terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode
penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang
mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun. Solusi
atas hal tersebut adalah dengan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kemudian kita
ingat-ingat lagi beberapa tugas pokok KPK, yaitu kordinasi dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, supervisi terhadap
instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi,
melakukan pencegahan tindak pidana korupsi, memonitor penyelenggaran
pemerintah, serta melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Selain tugas, KPK juga diberikan beberapa kewenangan. Dari sekian
banyak kewenangannya, beberapa diantaranya yaitu, meminta informasi tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi kepada instansi terkait (Pasal 7 huruf c), dan mengambil
alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang
sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan (Pasal 8 ayat (2)).
Ribut-ribut mengenai perselisihan antara KPK dan Polri ini tentu
saja merujuk kepada pelaksanaan Pasal 50 Undang Undang 30 Tahun 2002 (UU KPK). Adapun
bunyi Pasal 50 adalah:
1. Dalam
hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan
perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan,
instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya
penyidikan.
2. Penyidikan
yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
3. Dalam
hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi
melakukan penyidikan.
4. Dalam
hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan
dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian
atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.
Melihat dari bunyi Pasal tersebut, saya dapat mengambil
beberapa kesimpulan. Terkait dengan ayat (1), dapat disimpulkan jika ada penyidikan
mengenai kasus tindak pidana korupsi sudah dilakukan dan KPK belum melakukan
penyidikan, maka KPK wajib diberitahu.
Terkait dengan ayat (2) dapat saya simpulkan bahwa penyidikan
mengenai kasus tindak pidana korupsi dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan harus
selalu dikoordinasikan dengan KPK selama KPK belum ikut melaksanakan penyidikan.
Terkait dengan ayat (3) dapat saya simpulkan bahwa KPK dapat
mengambil alih penyidikan mengenai kasus tindak pidana korupsi yang sebelumnya
dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan, dan jika penyidikan telah diambil
alih oleh KPK maka kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi untuk
melakukan penyidikan. Artinya kepolisian atau kejaksaan harus berhenti
melakukan penyidikan setelah KPK melakukan penyidikan atas perkara yang
bersangkutan.
Terkait dengan ayat (4) dapat saya simpulkan bahwa ayat ini
berlaku sebagai bentuk penyelesaian apabila KPK melakukan penyidikan yang secara
tidak sengaja dimulai dalam waktu yang bersamaan dengan kepolisian atau
kejaksaan, maka KPK bisa melanjutkan proses penyidikan sedangkan kepolisian
atau kejaksaan harus segera menghentikan proses penyidikan.
Kesimpulan dari Pasal 50 adalah Pasal ini secara khusus hanya mengatur mengenai penyidikan. Berdasarkan Pasal 50, KPK berwenang untuk
meneruskan atau mengulang penyidikan yang sebelumnya dilakukan oleh kepolisian
atau kejaksaan, dan bila KPK sudah masuk maka proses penyidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian atau
kejaksaan harus dihentikan dan diserahkan seluruhnya kepada KPK. Pasal 50 ini pun berkaitan erat dengan Pasal sebelumnya,
yaitu Pasal 6 huruf c, Pasal 8 ayat (2), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal
12.
Pasal 8 mengatur mengenai tugas KPK terkait Pasal 6 huruf b,
yaitu mengenai tugas supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam Pasal 8 ayat (2) disebutkan bahwa
KPK dapat mengambil alih penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh
kepolisian dan kejaksaan terkait dengan tugas supervisi dari KPK. Pasal 9
menegaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh KPK untuk mengambil alih
proses penyidikan yang dilakukan kepolisian atau kejaksaan terkait dengan tugas
supervisi yang dimaksud dalam Pasal 6 huruf b. Sedangkan Pasal 10 masih
berhubungan dengan pengaturan dalam Pasal 9.
Pada Pasal 6 huruf c, dinyatakan bahwa tugas KPK adalah
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi. Pasal 11 lebih mengatur kepada
batasan mengenai sejauh mana Pasal 6 huruf c dapat diterapkan, yaitu KPK
berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan apabila tindak
pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan
orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum atau penyelenggara negara (Pasal 11 ayat(1)), apabila
tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat (Pasal
11 ayat(2)), apabila menyangkut kerugian negara paling sedikit satu milyar (Pasal
11 ayat(3)). Namun antara satu ayat dengan ayat lainnya pada Pasal 11 tidak
disertakan kata dan/atau. Sedangkan Pasal 12 lebih menegaskan kepada kewenangan
KPK saat melakukan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Proses penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan yang
dilakukan oleh KPK yang sesuai dengan Pasal 6 huruf c tidak terkait dengan
Pasal 9, karena Pasal 9 merupakan perpanjangan syarat dari Pasal 8 yang
mengatur lebih lanjut tugas KPK yang bersumber dari Pasal 6 huruf b. Pasal 6
huruf c memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Sampai sejauh ini saya tak menemukan aturan yang melarang untuk mengaitkan Pasal 6 huruf c dengan
Pasal 50 (bila ada menemukan harap segera menginformasikan untuk segera saya ralat). Meskipun demikian tetap ada perbedaan yang harus diperhatikan antara Pasal 50 dengan Pasal 6 huruf b dan Pasal 6 huruf c. Pasal 50 hanya mengatur mengenai penyidikan. Sedangkan pada Pasal 6 huruf b dan Pasal 6 huruf c diatur pula masalah penuntutan yang memang tak diatur di dalam Pasal 50.
***
Pada dasarnya, dalam hukum dikenal berbagai asas hukum. Salah
satunya adalah Lex Spesialis Derogat Legi Generale. Artinya adalah peraturan
yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum. Dalam hal ini,
yang dimaksud sebagai peraturan yang lebih khusus adalah Undang Undang Nomor 30
tahun 2002, sedangkan peraturan yang lebih umum adalah KUHP dan KUHAP.
Berdasarkan
asas ini maka segala kewenangan yang berkaitan dengan penyidikan, penyelidikan,
dan penuntutan yang diatur dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP)
berlaku juga untuk KPK sampai ditentukan berbeda dengan peraturan yang lebih
khusus. Maka apabila ada sengketa mengenai prosedur penyelesaian perkara tindak
pidana korupsi harus dirujuk kembali dengan peraturan yang lebih khusus, yaitu
Undang Undang 30 tahun 2002. Seandainya prosedur untuk penyelesaian perkara
tersebut tidak diatur dalam peraturan khusus, harus dikembalikan ke
peraturan yang lebih umum (KUHP dan KUHAP).
Lucunya, penyelesaian sengketa proses penyidikan ini
terhambat oleh sebuah MoU (memorandum of understanding/nota kesepahaman). Padahal
sejatinya MoU bukanlah sebuah kontrak yang mengikat secara hukum terhadap kedua
belah pihak. Pelanggaran terhadap tidak dilaksanakannya isi dari MoU tidak bisa
dikenakan sanksi secara hukum. Kedudukan MoU sangat lemah dihadapan hukum,
apalagi dibandingkan dengan sebuah peraturan perundang-undangan yang pelaksanaannya
sangat kuat secara hukum. Pembentukan MoU sendiri sejatinya tak boleh
bertentangan dengan isi dari Undang-Undang. Jadi bila isi dari MoU tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang maka sudah tentu Undang-Undang yang
dimenangkan.
***
Semoga dengan sekelumit ulasan sok tau saya ini semakin tercerahkan siapa yang berwenang dalam
melakukan proses penyidikan. Para penegak hukum yang bersengketa memiliki kadar
keilmuannya sudah jauh diatas orang awam seperti saya. Tentunya mereka lebih paham siapa
yang lebih berwenang melakukan proses penyidikan jika ada sengketa mengenai
perebutan kewenangan penyidikan, bahkan jawabannya pun sudah pasti mereka ketahui
sebelum saya menuliskan ulasan ini. Jika ada hal yang kurang berkenan atau ingin berdiskusi, silahkan tuangkan di kolom komentar :)
mau tanya dong, kalo dalam persekongkolan tender terdapat tindak pidana korupsi berupa penyalahgunaan wewenang dan dugaan suap sedangkan mengenai kerugiaan negera belum di temukan, apakah KPK memiliki wewenang untuk penyelesaian tindak pidana korupsi ini, setelah sebelumnya telah ada putusan kppu mengenai persekongkolan?
ReplyDeletesilahkan dianalisa lagi unsur-unsurnya, dan dicermati lagi tugas kewenangan KPK sesuai UU KPK. Terutama Pasal 6 huruf (c) jo Pasal 11.
Delete