Pages

Wednesday, August 8, 2012

Sengketa Kewenangan Penyidikan KPK vs Kepolisian


Semua ramai berbicara sengketa kewenangan penanganan proses penyidikan antara KPK vs Polri. Sebagai seorang awam yang sok tau dan sok pintar, tentu saja saya tergoda untuk sedikit mengomentari masalah ini. Tentunya level pendapat saya ini sesuai dengan kadar keilmuan saya yang sangat rendah. Bila ada yang merasa pendapat saya ngawur dan tak sesuai dengan fakta yang ada, mohon segera dikritik agar bisa segera diluruskan.

Pertama saya mengajak anda sekalian mengingat kembali alasan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disingkat KPK). Latar belakang dibentuknya KPK karena pemerintah (khususnya pembentuk UU 30/2002) merasa bahwa lembaga pemerintah yang menangani tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Penegakan hukum yang dilakukan untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvesional terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun. Solusi atas hal tersebut adalah dengan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kemudian kita ingat-ingat lagi beberapa tugas pokok KPK, yaitu kordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan pencegahan tindak pidana korupsi, memonitor penyelenggaran pemerintah, serta  melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

Selain tugas, KPK juga diberikan beberapa kewenangan. Dari sekian banyak kewenangannya, beberapa diantaranya yaitu, meminta informasi tentang pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi terkait (Pasal 7 huruf c), dan mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan (Pasal 8 ayat (2)).

Ribut-ribut mengenai perselisihan antara KPK dan Polri ini tentu saja merujuk kepada pelaksanaan Pasal 50 Undang Undang 30 Tahun 2002 (UU KPK). Adapun bunyi Pasal 50 adalah:

1. Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan  Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.

2. Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
  
3. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.
  
4. Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.

Melihat dari bunyi Pasal tersebut, saya dapat mengambil beberapa kesimpulan. Terkait dengan ayat (1), dapat disimpulkan jika ada penyidikan mengenai kasus tindak pidana korupsi sudah dilakukan dan KPK belum melakukan penyidikan, maka KPK wajib diberitahu.

Terkait dengan ayat (2) dapat saya simpulkan bahwa penyidikan mengenai kasus tindak pidana korupsi dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan harus selalu dikoordinasikan dengan KPK selama KPK belum ikut melaksanakan penyidikan.

Terkait dengan ayat (3) dapat saya simpulkan bahwa KPK dapat mengambil alih penyidikan mengenai kasus tindak pidana korupsi yang sebelumnya dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan, dan jika penyidikan telah diambil alih oleh KPK maka kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi untuk melakukan penyidikan. Artinya kepolisian atau kejaksaan harus berhenti melakukan penyidikan setelah KPK melakukan penyidikan atas perkara yang bersangkutan.

Terkait dengan ayat (4) dapat saya simpulkan bahwa ayat ini berlaku sebagai bentuk penyelesaian apabila KPK melakukan penyidikan yang secara tidak sengaja dimulai dalam waktu yang bersamaan dengan kepolisian atau kejaksaan, maka KPK bisa melanjutkan proses penyidikan sedangkan kepolisian atau kejaksaan harus segera menghentikan proses penyidikan.

Kesimpulan dari Pasal 50 adalah Pasal ini secara khusus hanya mengatur mengenai penyidikan. Berdasarkan Pasal 50, KPK berwenang untuk meneruskan atau mengulang penyidikan yang sebelumnya dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan, dan bila KPK sudah masuk maka proses penyidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian atau kejaksaan harus dihentikan dan diserahkan seluruhnya kepada KPK. Pasal 50 ini pun berkaitan erat dengan Pasal sebelumnya, yaitu Pasal 6 huruf c, Pasal 8 ayat (2), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.

Pasal 8 mengatur mengenai tugas KPK terkait Pasal 6 huruf b, yaitu mengenai tugas supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam Pasal 8 ayat (2) disebutkan bahwa KPK dapat mengambil alih penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan terkait dengan tugas supervisi dari KPK. Pasal 9 menegaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh KPK untuk mengambil alih proses penyidikan yang dilakukan kepolisian atau kejaksaan terkait dengan tugas supervisi yang dimaksud dalam Pasal 6 huruf b. Sedangkan Pasal 10 masih berhubungan dengan pengaturan dalam Pasal 9.

Pada Pasal 6 huruf c, dinyatakan bahwa tugas KPK adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.  Pasal 11 lebih mengatur kepada batasan mengenai sejauh mana Pasal 6 huruf c dapat diterapkan, yaitu KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan apabila tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara (Pasal 11 ayat(1)), apabila tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat (Pasal 11 ayat(2)), apabila menyangkut kerugian negara paling sedikit satu milyar (Pasal 11 ayat(3)). Namun antara satu ayat dengan ayat lainnya pada Pasal 11 tidak disertakan kata dan/atau. Sedangkan Pasal 12 lebih menegaskan kepada kewenangan KPK saat melakukan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Proses penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan yang dilakukan oleh KPK yang sesuai dengan Pasal 6 huruf c tidak terkait dengan Pasal 9, karena Pasal 9 merupakan perpanjangan syarat dari Pasal 8 yang mengatur lebih lanjut tugas KPK yang bersumber dari Pasal 6 huruf b. Pasal 6 huruf c memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Sampai sejauh ini saya tak menemukan aturan yang melarang untuk mengaitkan Pasal 6 huruf c dengan Pasal 50 (bila ada menemukan harap segera menginformasikan untuk segera saya ralat). Meskipun demikian tetap ada perbedaan yang harus diperhatikan antara Pasal 50 dengan Pasal 6 huruf b dan Pasal 6 huruf c. Pasal 50 hanya mengatur mengenai penyidikan. Sedangkan pada Pasal 6 huruf b dan Pasal 6 huruf c diatur pula masalah penuntutan yang memang tak diatur di dalam Pasal 50.

***

Pada dasarnya, dalam hukum dikenal berbagai asas hukum. Salah satunya adalah Lex Spesialis Derogat Legi Generale. Artinya adalah peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum. Dalam hal ini, yang dimaksud sebagai peraturan yang lebih khusus adalah Undang Undang Nomor 30 tahun 2002, sedangkan peraturan yang lebih umum adalah KUHP dan KUHAP. 

Berdasarkan asas ini maka segala kewenangan yang berkaitan dengan penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) berlaku juga untuk KPK sampai ditentukan berbeda dengan peraturan yang lebih khusus. Maka apabila ada sengketa mengenai prosedur penyelesaian perkara tindak pidana korupsi harus dirujuk kembali dengan peraturan yang lebih khusus, yaitu Undang Undang 30 tahun 2002. Seandainya prosedur untuk penyelesaian perkara tersebut tidak diatur dalam peraturan khusus, harus dikembalikan ke peraturan yang lebih umum (KUHP dan KUHAP).

Lucunya, penyelesaian sengketa proses penyidikan ini terhambat oleh sebuah MoU (memorandum of understanding/nota kesepahaman). Padahal sejatinya MoU bukanlah sebuah kontrak yang mengikat secara hukum terhadap kedua belah pihak. Pelanggaran terhadap tidak dilaksanakannya isi dari MoU tidak bisa dikenakan sanksi secara hukum. Kedudukan MoU sangat lemah dihadapan hukum, apalagi dibandingkan dengan sebuah peraturan perundang-undangan yang pelaksanaannya sangat kuat secara hukum. Pembentukan MoU sendiri sejatinya tak boleh bertentangan dengan isi dari Undang-Undang. Jadi bila isi dari MoU tersebut bertentangan dengan Undang-Undang maka sudah tentu Undang-Undang yang dimenangkan.


***

Semoga dengan sekelumit ulasan sok tau saya ini semakin tercerahkan siapa yang berwenang dalam melakukan proses penyidikan. Para penegak hukum yang bersengketa memiliki kadar keilmuannya sudah jauh diatas orang awam seperti saya. Tentunya mereka lebih paham siapa yang lebih berwenang melakukan proses penyidikan jika ada sengketa mengenai perebutan kewenangan penyidikan, bahkan jawabannya pun sudah pasti mereka ketahui sebelum saya menuliskan ulasan ini. Jika ada hal yang kurang berkenan atau ingin berdiskusi, silahkan tuangkan di kolom komentar :)

2 comments:

  1. mau tanya dong, kalo dalam persekongkolan tender terdapat tindak pidana korupsi berupa penyalahgunaan wewenang dan dugaan suap sedangkan mengenai kerugiaan negera belum di temukan, apakah KPK memiliki wewenang untuk penyelesaian tindak pidana korupsi ini, setelah sebelumnya telah ada putusan kppu mengenai persekongkolan?

    ReplyDelete
    Replies
    1. silahkan dianalisa lagi unsur-unsurnya, dan dicermati lagi tugas kewenangan KPK sesuai UU KPK. Terutama Pasal 6 huruf (c) jo Pasal 11.

      Delete